So… what’s next for Marvel Studios after the huge success of that little movie called The Avengers (2012)? It’s the return of the Iron Man, apparently.
Dan di bagian ketiga penceritaannya – yang masih dibintangi oleh Robert
Downey, Jr., Gwyneth Paltrow dan Don Cheadle namun kini disutradarai
oleh Shane Black (Kiss Kiss Bang Bang, 2005) yang menggantikan posisi Jon Favreau, Iron Man terkesan menyerap secara seksama pola penceritaan yang diterapkan Joss Whedon dalam The Avengers
yakni dengan memasukkan lebih banyak unsur komedi ke dalam jalan
penceritaannya. Hasilnya mungkin akan menghasilkan pendapat yang beragam
dari banyak penggemar franchise ini. But then again…
jelas sama sekali tidak ada salahnya untuk mengambil rute penceritaan
yang berbeda ketika Anda sedang menangani sebuah tema yang telah begitu
familiar. Khususnya ketika Anda mampu menanganinya dengan baik dan
berhasil muncul dengan sebuah presentasi cerita yang benar-benar cerdas
dan menghibur.
Berada di linimasa yang terdapat pada waktu beberapa saat setelah berbagai kejadian yang digambarkan dalam The Avengers, Iron Man 3
membuka kisahnya dengan penggambaran karakter Tony Stark (Downey, Jr.)
yang masih berusaha mencerna berbagai hal yang ia alami selama beberapa
waktu terakhir. Usaha tersebut, sayangnya, justru memberikan rasa
depresi pada kondisi kejiwaan Stark – dan membuatnya tidak dapat tidur,
memiliki tingkatan emosional yang labil dan menghasilkan jarak yang
cukup lebar antara dirinya dengan Pepper Potts (Paltrow) dalam hubungan
asmara yang telah mereka jalin. Dan situasi kehidupan Stark justru tidak
akan berjalan lebih baik sesudahnya. Ia harus menghadapi ancaman yang
datang dari dua arah: sosok teroris bernama Mandarin (Ben Kingsley) yang
mengancam akan menghancurkan Amerika Serikat serta seorang pria bernama
Aldrich Killian (Guy Pearce) yang datang dari masa lalu Pepper Potts
dan berusaha untuk merebut perhatiannya kembali.
Kekuatan utama dari seri Iron Man, dan sebuah faktor besar yang berhasil menarik banyak penggemar baru ketika versi adaptasi live action dari seri komik Iron Man
pertama kali dihadirkan pada tahun 2008 lalu, jelas berada pada
kharisma seorang Robert Downey, Jr dalam memerankan karakter Tony
Stark/Iron Man. Dalam Iron Man 3, Downey, Jr. bahkan diberikan
ruang emosional yang lebih luas lagi guna menyelami kedalaman
karakternya, khususnya sebagai seorang manusia dan bukan hanya sebagai
seorang sosok superhero. Tidak hanya digambarkan sebagai sosok milyuner yang cerdas/womanizer/egois/banyak
bicara/arogan, naskah cerita yang ditulis oleh Shane Black bersama
dengan Drew Pearce, berhasil memberikan gambaran Tony Stark sebagai
sosok yang sensitif dan dipenuhi banyak rasa kekhawatiran ketika harus
berhadapan dengan banyak hal yang mungkin tidak dapat ia tangani.
Layaknya manusia biasa. Sisi humanis ini berhasil dihidupkan oleh
Downey, Jr. pada banyak bagian film, namun khususnya benar-benar terasa
ketika karakter Tony Stark/Iron Man digambarkan sedang berinteraksi
dengan karakter seorang anak bernama Harley (Ty Simpkins) – yang
sekaligus menjadi pengingat bahwa karakter superhero favorit Anda kini telah berada di bawah komando Walt Disney.
Keputusan Black dan Pearce untuk
memfokuskan jalan penceritaan pada sisi personal dari karakter Tony
Stark/Iron Man jelas merupakan sebuah keputusan yang cukup berani. Pada
beberapa bagian, keputusan tersebut membuat Iron Man 3 terkesan sebagai sebuah film bernuansa aksi komedi yang berdiri sendiri daripada sebagai bagian ketiga dari sebuah franchise film besar yang bertemakan superhero.
Di sisi lain, kemungkinan besar kebanyakan penonton tidak akan sanggup
untuk menahan diri mereka untuk tidak merasa jatuh hati pada
pengembangan cerita yang begitu berhasil akan hubungan yang terjalin
antara Tony Stark dengan karakter-karakter yang berada di sekitarnya.
Hubungan romansa yang ia jalin dengan karakter Pepper Potts berhasil
disajikan lebih dari sekedar kisah jalinan asmara yang sering terasa
dihadirkan hanya sebagai penambahan warna bagi karakter seorang superhero
dalam film-film sejenis. Hal yang sama juga terjadi antara hubungan
Tony Stark dengan karakter Colonel James Rhodes/Iron Patriot yang
terlihat semakin padu dengan pertukaran dialog-dialog bernuansa komedi
antara keduanya yang akan mampu menghibur penonton.
Jika ada keluhan yang dapat dirasakan pada alur penulisan cerita Iron Man 3,
maka hal tersbeut mungkin datang dari bagaimana cara Black dan Pearce
terkesan terlalu menggampangkan karakterisasi tokoh-tokoh antagonis yang
hadir di dalam jalan cerita film ini. Menghadirkan tidak kurang dari
tiga karakter antagonis utama, Black dan Pearce sayangnya gagal untuk
memberikan ketiga karakter tersebut porsi penceritaan yang mampu tampil
meyakinkan. Karakter Maya Hansen yang diperankan oleh Rebecca Hall jelas
terasa sebagai karakter yang sia-sia kehadirannya di jalan cerita film
ini – dan membuat setiap orang mengerti mengenai keputusan Jessica
Chastain untuk menolak peran ini. Karakter Aldrich Killian sendiri hadir
dalam skala penceritaan yang cukup besar. Namun sayangnya, motivasi
yang diberikan Black dan Pearce untuk karakter tersebut dalam melakukan
berbagai tindakan kekerasannya terkesan begitu ringan dan kurang kuat.
Yang paling mencuri perhatian jelas kehadiran karakter Mandarin.
Meskipun kehadirannya terkesan sebagai karakter antagonis tambahan
namun, secara mengejutkan, karakter inilah yang justru benar-benar mampu
tampil sebagai karakter antagonis yang sebenarnya. Kelam dan begitu
kejam. Begitu tangguhnya penggambaran karakter tersebut kemudian
berhasil dimanfaatkan oleh Black dan Pearce untuk menghadirkan sebuah
kejutan besar yang akan sanggup memberikan penontonnya bahan perdebatan
panjang berhari-hari setelah mereka selesai menyaksikan film ini – namun
tetap harus diakui mampu dieksekusi dengan baik oleh Black.
Rasanya tidak ada keluhan yang dapat
disampaikan dari cara Black dalam mengeksplorasi berbagai adegan aksi
yang hadir dalam film ini. Iron Man 3, terlepas dari perubahan
nada penceritaannya, tetaplah mampu menghadirkan deretan adegan aksi dan
ledakan dalam skala besar dan cukup mengagumkan. Terlepas dari beberapa
karakter yang hadir dalam porsi penceritaan yang cukup terbatas,
departemen akting Iron Man 3 yang diisi dengan nama-nama seperti
Robert Downey, Jr., Gwyneth Paltrow, Don Cheadle, Guy Pearce, Ben
Kingsley dan Rebecca Hall tetap berhasil solid dalam menghidupkan peran
masing-masing – dengan chemistry yang terjalin antara Downey, Jr.
dengan Paltrow, Cheadle dan Ty Simpkins – yang menampilkan penampilan
akting yang mengesankan – mampu menjadi highlight pada banyak bagian presentasi cerita film ini.
Well… kredit utama dari Iron Man 3
jelas layak diberikan pada Marvel Studios yang dengan berani memberikan
kebebasan bagi Shane Black untuk menciptakan atmosfer penceritaan
seperti yang ia inginkan – meskipun jelas Black terlihat sangat
terpengaruh pada kemampuan Joss Whedon untuk mengubah The Avengers
menjadi sebuah film aksi komedi yang benar-benar menghibur. Naskah
cerita yang diarahkan oleh Black bersama Drew Pearce jelas akan mampu
menghadirkan perbedaan pendapat bagi banyak penggemar franchise
ini. Pun begitu, tidak dapat disangkal bahwa Black dan Pearce telah
memberikan sebuah kualitas penulisan naskah yang terasa begitu segar
dalam menyikapi tema superhero yang diusungnya – Hey! Tidak semua karakter superhero
harus dihadirkan dengan jalan cerita kelam seperti yang selalu terjadi
dalam dunia seorang Christopher Nolan. Black mampu menyajikan sebuah
presentasi cerita dengan kehadiran sisi aksi yang mampu tergali dengan
baik, dialog-dialog yang tajam dan cerdas serta sajian drama yang terasa
personal namun berhasil memberikan berbagai komentar sosial terhadap
banyak hal yang sedang terjadi di dunia saat ini. Sebuah sajian yang
solid dan menjadikan Iron Man 3 sebagai bagian terbaik dari perjalanan franchise ini.
Iron Man 3 (2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar